Mundurnya Nahdlatul ‘Ulama (NU) dan Muhammadiyah Dari Program Organisasi Penggerak
- by Admin
- 26 July 2020
- 29

Media Priangan - Mundurnya
Nahdlatul ‘Ulama (NU) dan Muhammadiyah dari Program Organisasi Penggerak (POP) menjadi
perhatian saya terhadap refleksi sejarah lembaga pendidikan (pesantren) di
Indonesia. Bukan tanpa alasan dua organisasi besar yang berbasis agama Islam di
Indonesia ini mundur dari Program Organisasi Penggerak yang dicanangkan oleh
Kemendikbud. Kurang lebih karena proses seleksi yang kurang jelas, fokus
penanganan pelatihan Kepala Sekolah dan Kepala Madrasah di lembaga pendidikan
Ma’arif NU dan pertimbangan lain dari Muhammadiyah.
Berkaitan
dengan hal tersebut, publik tidak akan terlalu fokus terhadap penjelasan
programnya, namun akan lebih cenderung terhadap mundurnya sikap NU dan
Muhammadiyah. Karena secara historis dalam upaya mempertahankan dan kemampuan
beradaptasi dalam aspek pendidikan, NU maupun Muhammadiyah sudah mumpuni jauh
sebelum Indonesia merdeka dengan melahirkan ulama yang berjuang melawan
penjajah. Sebagai dasar pemahaman dalam bidang pendidikan, harus kita
pahami bahwa NU maupun Muhammadiyah
merupakan pondasi pendidikan bangsa Indonesia sejak awal zaman pemerintah
Hindia Belanda hingga kini melalui lembaga pendidikan Pesantren, kedua
organisasi Islam besar di Indonesia tersebut merupakan influencer dalam dunia pendidikan melalui pesantren yang menjadi
lembaga pendidikan pertama di Indonesia sebelum kedatangan lembaga pendidikan
kolonial Belanda.
Awal mula
perkembangan pesantren tidaklah mudah, kehadiran Belanda sejak abad ke-16 yang
mempunyai tujuan berdagang dengan wadah kongsi dagang yang bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) telah berupaya mengekspansi politik
kolonial yang mempengaruhi perubahan aspek kehidupan masyarakat Indonesia, di
antaranya bidang pendidikan. Indonesia sejak zaman Hindia Belanda mengalami
dualisme pendidikan, pesantren yang dikembangkan oleh NU maupun Muhammadiyah
dalam bidang pendidikan menghadapi lembaga pendidikan kolonial Belanda. Perkembangan dan perluasan lembaga
pendidikan Islam melalui pesantren dan lembaga pendidikan pemerintah kolonial
Belanda mengidentikkan telah terjadi dualisme dalam bidang pendidikan di Indonesia.
Dalam pendidikan Islam menghasilkan para ahli bidang ilmu agama Islam dengan
keterbatasan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, sedangkan pendidikan
pola pemerintah kolonial dengan pemahaman dan penguasaan ilmu pengetahuan umum
namun terbatas dalam aspek pengetahuan agama yang rentan dikatakan “sekuler” dengan
memisahkan peran agama dalam kehidupaan bernegara. Lulusan lembaga pendidikan
Islam yang melahirkan santri dan Kiai berbasis pengetahuan Islam di pesantren
berhadapan dengan yang mendapatkan pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang
berorientasi pada pengetahuan umum. Sebagaimana yanag dikatakan oleh Clifford
Geertz (1983) hal tersebut menjadi cikal bakal dari politik aliran dalam
konstelasi politik di Indonesia pada masa pra dan awal kemerdekaan Indonesia.
Perjalanan pesantren sebagai lembaga pendidikan bukan tanpa
hambatan, di awal abad ke-20 muncul kebijakan yang merugikan sebagian besar
lembaga pendidikan pesantren dengan pembatasan-pembatasan ruang yang diupayakan
oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimna yang dikatakan oleh Djamas
(2009: 11) upaya pembatasan penyelenggaraan pendidikan Islam dilakukan oleh
pemerintah kolonial dengan kebijakan Ordonansi Guru pada tahun 1905 yang
tercantum pada Staatsblad nomor 550
yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Kebijakan ini mengharuskan setiap guru
Agama mendapatkan izin tertulis sebelum melaksanakan tugasnya dan mewajibkan
kepada setiap Bupati dan Kepala Daerah untuk melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan ordonansi tersebut.
Husni (2000: 56)
mengatakan bahwa 20 tahun sejak ordonansi tersebut dikeluarkan, tepatnya pada
tahun 1925 terdapat kebijakan Ordonansi Guru jilid dua yang tercantum dalam staatsblad 1925 dengan memberlakukan
kebijakan di luar wilayah Jawa dan Madura. Dalam ordonansi ini guru Agama hanya
diwajibkan memberi tahu, bukan untuk mendapatkna izin, namun dikenakan sanksi
bagi yang melanggar berupa kurungan atau denda. Tekanan pemerintah kolonial
Belanda semakin meluas dan mempunyai pengaruh kuat bagi lembaga pendidikan
Islam, bak sebuah pepatah yang terjadi pada lembaga pendidikan Islam pada masa
itu, semakin tinggi pohon semakin besar angin yang berhembus.
Demi mempertahankan dari tekanan pemerintah
kolonial Belanda, maka sebuah pondok pesantren harus mampu bertransformasi dan
beradaptasi serta menyusun kurikulum yang sesuai. Ilmu yang berkaitan dengan
sosial, politik, hukum ekonomi, sosiologi, antropologi, budaya dan ilmu lainnya
mestinya diberikan ruang lebih demi memperluas cara pandang terhadap kurikulum
tanpa mengurangi nilai-nilai tradisi yang khas dari sebuah lembaga pendidikan
pesantren, yakni Kitab Kuning. Kitab Kuning bisa dikaji dengan ilmu bantu lain
seperti Sejarah, Filologi yang berkaitan dengan naskah kuno, Paleografi
mengkaji tulisan kuno dan lain-lain. Apabila ilmu lain berkolaborasi saling melengkapi
terhadap wawasan dan khasanah keilmuan, maka kemungkinan besar para santri bisa
menjelajah pengetahuannya secara luas dan mengembangkannya dengan kemampuan
menyerap norma agama dalam berbagai aspek.
Dalam memahami Kitab Kuning secara tekstual
dan kontekstual diperlukan berbagai literatur sebagai rujukan untuk
mengeksplorasi pengetahuan keagamaan demi menambah wawasan dan cara pandang
dalam menentukan kitab yang diajarkan kepada santri. Komparasi sebuah mazhab
menjadi hal penting untuk memperluas dan mengembangkan cara berpikir santri,
serta bahasa (terutama bahasa Arab) akan memberikan pengaruh dalam keilmuan.
Dengan kata lain lembaga pendidikan mengalami perubahan, dalam metode
pengajaran dibagi setiap jenjang dan kelas, perluasan ilmu pengetahuan umum
guna memperluas khasanah dan wawasan tanpa mengurangi nilai tradisi yang
berasal dari Kitab Kuning.
Perubahan ini
lahir dari tekanan pemerintah kolonial Belanda melalui Ordonansi Guru, perkembangan
pendidikan kolonial Belanda melalui politik etis yang melakukan perluasan bagi
masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan, seperti lembaga pendidikan
yang bernama Sekolah Rakyat (Volkschool)
sebagai cara untuk beradaptasi. Hal ini dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam
sebagai bentuk upaya menahan kuatnya tekanan pendidikan kolonial Belanda
sebagai tantangan untuk beradaptasi dan mempertahankan eksistensi untuk menjaga
kualitaas pendidikan yang bermutu berbasis agama Islam.
Hal tersebut
menjadi tantangan bagi sebuah lembaga pendidikan Islam pada masa itu, terutama
pondok pesantren untuk terus melakukan pembaruan dan bersaing dengan lembaga
pendidikan kolonial Belanda. Jika sebuah pondok pesantren tidak mempunyai ciri
khas dalam model pengajaran yang dilakukan dengan pembaruan dan kelihaian dalam
beradaptasi, bisa jadi akan mengalami kepunahan. Namun pada umumnya sebuah
pondok pesantren mempunyai pedoman yang dinamakan Kitab Kuning dan model
pengajaran yang unik sebagai ciri khasnya.
Dari penjelasan
singkat tersebut, secara sederhana mengulas sejarah dan peran pesantren
terhadap bidang pendidikan di Indonesia. Dalam memahami bangsa sebuah
kemustahilan jika mengalpakan sejarah. Sebagaimana yang dikatakan Cak Imin, Kamis
(23/7/2020) kepada Mendikbud “Tolong jangan pernah melupakan sejarah peran NU
dalam pendidikan dan pencerdasan kehidupan masyarakat bangsa dan negara. Apapun
kebijakannya jangan sampai tidak melibatkan NU dan Muhamadiyah, kalau enggak
kualat. Penggerak Organisasi Pendidikan yang sifatnya subsidi, yang kuat tak
perlu dibantu oleh APBN, bantulah yang lemah oleh APBN.
Sederhananya bahwa
dengan sejarah akan menentukan arah. Hak etis dan historis dalam bidang
pendidikan tentu harus menjadi pertimbangan dalam menentukan program guna
meningkatkan kualitas pendidikan, terutama bagi NU dan Muhammadiyah yang jadi influencer-nya pendidikan di Indonesia
dari masa ke masa.